Kamis, 23 April 2009

Korban Berjatuhan, Ada apa dengan Ujian Nasional?



Ujian Nasional SMA tahun pelajaran 2008/2009 telah diselenggarakan dari tanggal 20 April sampai 24 April 2009. Dari hasil pemantauan yang diberitakan media cetak ataupun elektronik, terungkap betapa siswa mengalami kecemasan dan tekanan psikologis yang besar dalam menghadapi ujian kali ini – meskipun tahun lalu kondisinya tak jauh berbeda. Bukan hanya siswa, segenap pengelola pendidikan di sekolah, sampai ke Dinas Pendidikan Kabupaten/Kota dan Propinsipun merasa was-was, cemas kalau-kalau peserta ujian nasional di sekolah atau di daerahnya banyak yang tidak lulus.

Kecemasan ini ternyata telah menimbulkan korban di berbagai daerah di Indonesia. Pada running text di Metro TV hari Selasa, 21 April 2009 diberitakan; “16 Kepala Sekolah ditangkap akibat bocorkan kunci soal UN di Bengkulu”. Berita di Kompas.com; “Siswa datang ke sekolah pukul 5 pagi untuk terima kunci UN di Tapanuli”. Tv One (23 April 2009); “59 siswa SMA tolak lanjutkan Ujian Nasional di Kediri”. Di Jakarta, guru mengeluhkan soal matematika yang terlalu sulit dan jauh dari prediksi. Padahal, sejak awal tahun pelajaran siswa kelas XII telah diwanti-wanti oleh pihak sekolah dan Dinas Pendidikan agar lebih meningkatkan cara belajarnya. Bahkan setiap sekolah jauh-jauh hari telah mengadakan belajar tambahan untuk mempersiapkan siswa menghadapi ujian nasional. Fenomena ini tentunya menimbulkan pertanyaan besar; “Ada apa sebenarnya dengan dunia pendidikan kita???”.

Persoalan ini sebenarnya sudah muncul sejak diterapkannya SKL sebesar 3,25 pada tahun 2004, dimana banyak sekolah yang siswanya tidak lulus sampai 50%, bahkan ada beberapa sekolah yang 100% siswanya tidak lulus. Sayangnya pemerintah, dalam hal ini Departemen Pendidikan Nasional, tidak mau melakukan refleksi dan “self correction” atas kegagalan ini, malah menutupinya dengan konversi nilai untuk mendongkrak tingkat kelulusan serta mengadakan ujian susulan bagi peserta ujian yang gagal. Hebatnya, semua peserta ujian susulan ini lulus dengan hasil yang lebih tinggi dari pada siswa pintar yang lulus pada ujian utama.
Anehnya, tanpa ada pengkajian atas kegagalan pada tahun 2004 serta upaya perbaikan yang signifikan, pada tahun 2005 batas kelulusan malah meningkat tajam dari 3,25 menjadi 4,25. Sungguh suatu peningkatan yang luar biasa, hanya dalam satu tahun. Hasilnya lebih hebat lagi,.. hampir pada semua sekolah (SMA) di Indonesia terjadi kelulusan siswanya diatas 75%, bahkan cukup banyak sekolah yang siswanya lulus 100%. Apakah ini suatu peningkatan prestasi yang membanggakan? Seberapa hebatkah proses pendidikan di negeri ini sehingga mampu membalik keadaan; dengan batas kelulusan 3,25 saja banyak siswa yang gagal, namun dengan SKL 4,25 pada tahun berikutnya malah lulus semua?

Demikianlah dari tahun ke tahun, standar kelulusan dinaikkan terus menjadi 4,50 pada tahun 2006; 4,75 pada tahun 2007; 5,25 pada tahun 2008, dan mencapai 5,50 pada tahun ini. Sungguh merupakan lonjakan yang fantastis. Namun, kita tentunya tidak akan lupa dengan berbagai kasus penyimpangan dalam penyelenggaraan ujian nasional dari tahun ke tahun sebagaimana banyak dilansir oleh media massa. Contoh kasus tragis pada UN 2008, beberapa orang guru di Sumatera Utara ditangkap oleh Densus 88 Anti Teror karena tertangkap tangan mengubah lembar jawaban UN siswanya. Berarti; guru ingin membantu siswanya = terorisme? Kasus yang sama terjadi lagi pada UN 2009 yang baru saja berakhir, seperti kutipan berita pada awal tulisan ini.

Prestasi semu demi prestise

Kebijakan Depdiknas untuk menaikkan standar kelulusan sebenarnya sangat perlu didukung karena mutu pendidikan kita memang cukup jauh tertinggal dari negara-negara tetangga kita, seperti Malaysia dan Singapore. Namun, menaikkan standar kelulusan tanpa upaya-upaya kongkrit dalam peningkatan manajemen operasional, peningkatan kualitas dan kuantitas sarana/prasarana pendidikan, termasuk juga peningkatan kesejahteraan guru, dengan kata lain; tanpa perbaikan yang berarti dalam proses, merupakan “mission impossible”. Nyatanya pemerintah terus menaikkan batas syarat lulus ini secara gradual. Mungkin berhentinya nanti kalau sudah lebih tinggi dari Malaysia, atau minimalnya; sama dengan.

Sepertinya para pemegang stakeholder tertinggi di negeri ini tutup mata atas fenomena yang terjadi, dan menganggap tingginya persentase kelulusan di tiap daerah sebagai “buah keberhasilan” proses pendidikan kita. Para gubernur, bupati/walikota beserta jajaran dinas pendidikannya berlomba-lomba mencanangkan Gerakan Sukses Ujian Nasional (GSUN) untuk “mengantisipasi” tingginya angka ketidaklulusan siswa di daerahnya masing-masing. Di tingkat sekolah, gerakan sukses UN ini disambut dengan berbagai “persiapan” dan “strategi”. Untuk apa dan apa artinya mengejar angka-angka, kalau kita tahu bahwa angka-angka itu belum menggambarkan kemampuan dan mutu pendidikan kita yang sebenarnya? Apakah kita tidak malu menipu diri sendiri, yang pada akhirnya menjerumuskan dunia pendidikan bangsa ini?

Kegagalan = Aib

Salah satu katamutiara pembangkit motivasi yang selama ini laris diimplementasikan adalah; “KEGAGALAN ADALAH SUKSES YANG TERTUNDA”. Sehingga, dulu, orang tidak merasa malu atau terpuruk betul kalau mengalami kegagalan. Sebab mereka yakin, sukses ada dibalik kegagalan itu. Jadi,.. tinggal mencoba / mengulangi usahanya kembali dengan lebih baik.
Namun fenomena yang terjadi sekarang; “GAGAL ADALAH AIB YANG MEMALUKAN”. Karena itu, tidak boleh terdengar ada yang gagal. Gubernur, bupati, kepala dinas pendidikan merasa malu kalau dianggap gagal dalam "Gerakan Sukses UN". Karena itu para pejabat ini mewanti-wanti jajaran di bawahnya agar "proaktif" dalam menyukseskan gerakan ini. Ujung tombaknya tentu saja kepala sekolah dan guru.
Kalau kebijakan dan praktik seperti ini diteruskan, bukan hanya caleg yang gagal saja yang akan mengalami stress. Guru dan kepala sekolah juga akan banyak yang mengalami gangguan jiwa karena “terpaksa” melawan nuraninya, atau mungkin lebih parah lagi; guru, kepala sekolah, kepala dinas pendidikan, dst..sudah tidak punya nurani lagi…Wallahu a’lam….Na’udzubillahi min dzalik…

Berikut kutipan dari www.kompas.com;
Jika Depdiknas menginginkan perbaikan mutu pendidikan anak-anak bangsa, inilah saatnya memperlihatkan komitmen politik berbudaya malu. Dengan jelas ada kesalahan pedagogis, etis, manajerial, bahkan legal dalam konversi nilai UAN 2004. Seluruh bangsa, siswa, orangtua, capres, dan anggota DPR dan DPD terpilih sedang menatap ke Depdiknas dan menantikan sebuah terobosan elegan menyangkut konversi nilai UAN ini.
Seandainya Depdiknas tak mampu memberi solusi praksis dan bijak, dan tetapi bersikeras the show must go on … maka apa yang pernah dikatakan Magnis Suseno bahwa negara kita sedang di pinggir jurang, kini akan terjun bebas ke jurang kehancuran. Namun kita percaya, Depdiknas masih mampu memberi rasa keadilan bagi stakeholder pendidikan di negeri ini, dan pengambil kebijakan pendidikan kita masih memiliki tanggungjawab etis, nurani tulus, dan kebijakan yang melegakan.
Frietz R. Tambunan alumnus Salician University Roma-Italia bidang manajemen pendidikan;.staf pengajar Unika St. Thomas Medan
http://www.kompas.com/kompas-cetak/0406/16/opini/ (Rabu, 16 Juni 2004)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar