Senin, 04 Mei 2009

Menjalani Kehidupan, Perlu Mentalitas Pembelajar

Pendidikan dan pembelajaran merupakan dua hal yang tidak bisa dipisahkan, bagai dua sisi dalam satu koin logam. Pendidikan, yang diambil dari kata Latin educare, arti sejatinya adalah "menggiring ke luar", suatu diri atau segenap potensi pembelajar itu sendiri. A Harefa mengatakan, pendidikan atau proses pembelajaran itu sendiri merupakan proses informal, sehingga tak ada dan tidak mungkin ada pendidikan formal. Yang bersifat formal adalah pengajaran, yakni proses transfer pengetahuan atau usaha mengembangkan dan "mengeluarkan" potensi intelektualitas dari dalam diri manusia. Akan tetapi intelektualitas dan pengetahuan itu sendiri belum sepenuhnya mewakili diri manusia. Masih ada berbagai potensi diri lainnya yang tidak dapat diasah atau dikeluarkan lewat proses pengajaran, tetapi hanya dapat dilakukan lewat proses pembelajaran dan pelatihan.

Namun dalam perjalanannya, kita dihadapkan oleh berbagai masalah. Ada yang mengatakan bahwa pendidikan kita bukan semakin baik, kualitasnya yang semakin merosot. Ada yang menghubungkan dengan minimnya anggaran pendidikan. Kualitas guru yang rendah, dan ini diperlukan proses sertifikasi guru secara berkelanjutan. Ada juga yang mengatakan bahwa masalah pendidikan ini berhubungan dengan gaji guru yang kurang, sekolah yang kurang dana, sekolah yang rubuh, ataupun kurikulum yang cenderung tidak berubah. Namun pada saat yang sama, proses pembelajarannya sering kali tertinggal dan tidak didalami. Semua ini terjadi karena kita sering terjebak pada paradigma yang yang tidak komplit. Sebuah paradigma yang tidak utuh.

Eileen Rachman dan Sylvina Savitri mengatakan, banyaknya hambatan yang menyebabkan proses pembelajaran tidak berjalan lancar mudah dikenali dan betapa kita sering menutup mata pada keluarannya. Kebanyakan kita sering tidak mempelajari kondisi lapangan" beserta kompleksitasnya sehingga kita tidak tahu apakah pembelajaran "kena" atau tidak. Belum lagi, kesempatan "benchmark" atau "studi banding" sering tidak kita manfaatkan betul sebagai "pelajaran". Kita pasti sadar betapa sering kita membuang muka, dan pura-pura tidak tahu mengenai kesalahan pemahaman, persepsi, ketidakjelasan dalam proses pembelajaran. Yang paling mudah dipersalahkan adalah programnya, pelatih, guru atau dosennya, atau sekalian saja lembaganya.

Ketika Peter Senge (1990) mengeluarkan bukunya Fifth Discipline, banyak organisasi terhenyak dan menyadari betapa mereka hanya berkonsentrasi pada upaya mengajar tetapi tidak berfokus pada pembelajaran. Kita pun, di negara tercinta ini juga terhenyak bila melihat bahwa pembelajaran yang kita hasilkan sesudah merdeka ini kalah oleh negara tetangga yang pernah mengimpor guru dan dosen dari Indonesia. Kita sangat menyadari bahwa sebenarnya pembelajaran, yang tidak selamanya merupakan hasil dari sekolah dan universitas, banyak gagal ketika kita tahu bahwa mayoritas penduduk masih mau menelan nilai-nilai yang tidak produktif dan positif, serta "awareness" yang kurang terhadap kemanusiaan, lingkungan, moral yang pada akhirnya membawa perlambatan pembelajaran, kalau tidak sampai pada pembodohan.
Ia berpendapat bahwa pembelajaran terjadi bila individu secara teratur diberi ruang untuk menemukan dan mengkreasikan realitas yang dihadapi atau dipelajarinya. Dengan demikian, individu dalam setiap tahapan menjadi manusia yang baru, bisa melakukan, memahami atau menghayati sesuatu yang sebelumnya belum dialaminya, bisa mempunyai persepsi yang berbeda terhadap realita yang dihadapinya, dan menjadi bagian dari terbentuknya generasi yang punya paradigma baru atau menurut A Harefa, dalam proses pembelajaran, setiap orang harus mencari jawaban bagi dirinya sendiri. Tak ada pengajar dan pelatih, betapa pun cerdasnya dan piawainya mereka itu, dalam hal belajar menjadi diri sendiri. Tak ada magic formula untuk semua orang. Tak ada pengajar dan pelatih yang dapat membuat seseorang menjadi dirinya sendiri. Yang ada mungkin hanyalah guru sejati, yakni mereka yang justru dengan tegas mengatakan bahwa hal itu harus dipelajari sendiri.

Jalan ini hanya menegaskan bahwa kita harus menjadi diri sendiri itu. Tidak mungkin datang dari luar (outside in), sepenuhnya sumbernya adalah datang dari dalam (inside out). Ini berarti, setiap orang harus menjadi guru bagi dirinya sendiri. Hal ini dirumuskan oleh Anthony de Mello dalam "format" yang mudah dicerna:

Seorang murid mengeluh kepada gurunya; "Bapak menuturkan banyak cerita, tetapi tidak pernah menerangkan maknanya kepada kami."
Jawab sang guru; "Bagaimana pendapatmu, Nak, andaikata seseorang menawarkan buah kepadamu, namun mengunyahkannya dahulu bagimu?"

Meski belajar menjadi diri sendiri tidak bisa diajarkan dan dilatihkan, namun karena hal itu adalah tugas, tanggung jawab, dan panggilan universal bagi semua manusia, maka berbagi (sharing) pengetahuan dan pengalaman mungkin akan ada gunanya, setidaknya bagi mereka yang mau membuka kepala (open minded person) dan hati bersih dari berbagai prasangka (prejudice) dan penghakiman dini (early judgment) atau kata Eileen Rachman dan Sylvina Savitri, diperlukan perubahan beberapa aspek sikap mental. Hal-hal ini perlu kita tekuni dan yakini dengan penuh kesabaran, sehingga menjadi sebuah kumpulan keyakinan dan obsesi kita:

Jangan Meraba-raba

Secara "back to basic" marilah kita tinjau sikap kita mengenai akurasi dan presisi. Kita perlu belajar untuk tidak asal cuap, ngawur, atau mengira-ngira data dan fakta yang sebenarnya bisa dicari dan dibuktikan. Sudah banyak contoh membuktikan bahwa ketidak-akuratan dalam pencarian fakta menyebabkan negara rugi bermilyar-milyar dollar AS. Dan, karena mayoritas masyarakat sudah terbiasa hidup dalam ketidakakuratan, menyukai "plesetan", tidak ada pihak tertentu yang berobsesi untuk memperoleh data yang benar.

Eksperimen dan Riset Tidak Selalu di Laboratorium

Dari seorang eksekutif yang berhasil, saya belajar bahwa dalam kegiatan sehari-harinya ia banyak memberi judul "riset" atau "eksperimen" terhadap kegiatan-kegiatan "mencari tahunya". Misalnya, "Saya sedang meriset, kamera mana yang paling baik dibeli, Canon atau Nikon" atau "saya sedang melakukan eksperimen, apa efeknya kalau saya makan sawi saja selama seminggu". Tanpa disadari, eksekutif ini melakukan pembelajaran yang sistematis dan meningkatkan kesadarannya dalam memperoleh pengetahuan baru. Ini sangat berguna bagi kita yang memang selalu harus memperluas cakrawala, mendapat ide-ide baru melalui kesulitan dan kesempatan yang kita alami.

Belajar di Mana Saja, Pada Siapa Saja

Dalam budaya paternalistik yang kita pegang, paradigma bahwa otoritas adalah yang paling tahu, paling bijak dan paling menguasai masalah, tentunya harus kita hapus cepat-cepat, karena menghambat pembelajaran. Sudah waktunya kita mengerahkan siapa saja untuk belajar dari mana saja dan siapa saja, serta menguakkan, mengadopsi, menganalisa, menemukan persepsi dari sisi lain "best practise" dalam implementasi, penyelesaian pekerjaan, sikap kerja. Best practice yang sangat bisa kita tiru adalah banyak organisasi yang kini komit untuk menerapkan sistem 'lesson learnt', di mana kesalahan dan perbaikan sistem akan disebarluaskan ke seluruh organisasi dan diperlakukan sebagai studi kasus, sehingga setiap individu yang tidak mengalaminya akan belajar dari kejadian ini juga. Beberapa organisasi menyebutkan kegiatan ini sebagai "Santayana Review" yang berasal dari ahli filsafat George Santayana yang pernah menyatakan: "Those who cannot remember the past are condemned to repeat it."

Kita juga bisa belajar kembali, bagaimana cara kita mengajukan pertanyaan dalam mengambil keputusan, menggali pendapat dan masukan orang lain, apakah bawahan, atasan, para ahli bahkan para remaja. Pengetahuan sudah bukan milik elite tertentu lagi. Kita bodoh kalau menghambat tersebarnya segala macam pengetahuan di organisasi kita. Tentunya cara yang "friendly' untuk menyebarkannya perlu dicari dan disesuaikan dengan situasi massanya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar